Perjalanan Investasi di Tahun 2022 (Part 4)

Tidak terasa tahun 2022 hampir berakhir. Tiba saatnya memantau status perjalanan investasi selama tahun ini. Perjalanan investasi saya tahun ini cukup menarik dan tentu saja memberikan banyak pembelajaran. 

Tingkat inflasi naik membubung tinggi sepanjang tahun. Pemerintah Amerika harus menaikkan suku bunga untuk menekan dan menurunkan laju inflasi ini. Akibatnya terjadi perpindahan dana dari aset saham ke aset lainnya seperti obligasi jangka pendek, deposito ataupun emas. Pasar saham Amerika pun jatuh cukup drastis. S&P500, Indeks saham gabungan Amerika, saat ini berada -19% dibandingkan awal tahun, dan bahkan pernah turun hingga ke titik -26%. 




Pasar Saham Indonesia walaupun cukup resilien tetap saja terpengaruh karena para investor asing melakukan pemindahan aliran dana dari pasar saham kita ke Amerika oleh karena imbal hasil yang lebih menarik dengan kenaikan suku bunga oleh Pemerintah Amerika. 

IHSG sendiri masih berada 2.6% lebih tinggi dari titik di awal tahun 2022, tapi kondisi saat ini sebenarnya turun 6% dari titik tertinggi yang pernah dicapai di bulan April. 



Lalu bagaimana dengan perkembangan investasi saya? Mari kita periksa perkembangan portfolio saya. Berikut adalah ringkasan dari susunan dan kondisi gain/loss dari portfolio saya di awal tahun. Sebagian besar portfolio, sekitar 74% teralokasikan di aset-aset dengan tingkat resiko volatilitas tinggi seperti di Saham, Reksa Dana Saham, dan Peer to Peer Lending. Tingkat keuntungan saat itu berada pada 4,9%. 


Saat ini di bulan Desember 2022, portfolio saya masih tidak terlalu banyak berubah secara komposisinya, masih didominasi oleh aset-aset beresiko fluktuasi tinggi yaitu saham dan reksa dana indeks sebesar 69%.


Di bulan April 2022, saya menerima bonus pemutusan akhir kontrak, dan hampir seluruh dana tersebut saya alokasikan di aset-aset saham Amerika ataupun Indonesia. Sayangnya dengan kejatuhan pasar saham US maka portfolio saya pun terus mengalami penurunan. 

Karena, secara nominal dan proporsi cukup besar, ketika terjadi penurunan nilai saham maka secara langsung mempengaruhi kinerja portfolio secara umum. Terlihat sepanjang tahun 2022, tingkat keuntungan saya terus menurun dari 4% di bulan January ke saat ini bulan Desember di -2%. 

Penyebab lain dari penurunan nilai portfolio saya adalah karena sebagian besar dana pensiun saya terkumpul di reksa dana saham index IDX 30 yang di bulan Desember ini turun sebesar 16% dari titik tertingginya di bulan April. 

Seperti tahun lalu, perjalananan investasi saya di tahun 2022 masih tetap belum bisa mengalahkan inflasi tahunan di Indonesia yang saat ini berada pada tingkat 6%. Kalau dicermati, sesungguhnya, saya mengalami penurunan nilai dari total dana investasi saya sebesar 8% tahun ini, yaitu 6% inflasi dan penurunan 2% nilai portfolio. 


 Lalu, apa pembelajaran yang saya petik dari perjalanan investasi tahun 2022?

Diversifikasi terkonsentrasi, jika melihat catatan perjalanan investasi saya di tahun 2021, saya memiliki banyak saham dan reksa dana. Sepanjang tahun 2022 saya melakukan berbagai penjualan reksa dana dan saham. Jumlah saham Indonesia yang saya pegang sudah jauh berkurang dan saya tidak lagi memiliki banyak reksa dana. Reksa dana obligasi pemerintah saya lepas dan sebagai gantinya saya membeli obligasi pemerintah ORI22. Reksa dana saham pun saya lepas dan sebagai gantinya saya fokus kepada reksa dana indeks yang expense ratio (biaya manajemennya) lebih rendah. 

Jadi secara umum jumlah aset pun semakin sedikit hanya saham (Indonesia, Amerika dan Filipina), reksa dana pasar uang (untuk dana darurat dan dana cadangan top up), reksa dana obligasi korporasi dan reksa dana indeks. 

Yang masih menjadi PR saya adalah saham-saham Amerika yang jumlahnya masih cukup banyak yaitu 7 saham dan 1 indeks saham. Dalam 2 - 3 tahun ke depan target saya akan menguranginya menjadi 2 atau 3 saham dan satu indeks saham saja nantinya. 

Kombinasi DCA dan Lumpsum, sebelumnya saya membedakan strategi dollar cost averaging dan lumpsum berdasarkan jenis produk. 

DCA saya gunakan untuk produk-produk seperti saham dan reksa dana saham. Sedangkan lumpsum untuk reksa dana pasar uang. Tahun ini saya belajar bahwa kita bisa mengkombinasikannya sebagai berikut; di saat saham atau reksa dana saham sedang tinggi maka saya akan menabung di reksa dana pasar uang atau reksa dana obligasi korporasi.

Namun, di saat saham atau indeks saham mengalami penurunan, maka saya akan melakukan pemindahan dana dari reksa dana pasar uang atau obligasi korporasi ke saham dan reksa dana saham. 


Saya membuat panduan agar memudahkan bagi saya menentukan berapa persen dana yang harus saya pindahkan dari low risk aset ke high risk aset yang dihitung berdasarkan tingkat penurunan dari titik tertinggi index acuan. 

Sebagai contoh adalah index IDX 30 dan misalkan dana cadangan yang saya miliki adalah Rp. 100 juta. 


BNI IDX 30 adalah reksadana indeks saham yang saya miliki dan all time high data menunjukkan di angka Rp. 1006 per unit. Saat ini berada pada angka Rp. 836 per unit, yang berarti telah turun lebih dari 15%. Dengan rencana top up di atas maka pada saat harga berada di bawah Rp. 905, saya telah mulai melakukan top up sebesar 10% dari dana cadangan saya. 

Ketika nilainya turun lagi di bawah angka Rp. 855 maka saya pun akan top up 10% lagi begitu seterusnya sesuai strategi top up di atas hingga saat nilainya turun 50% dari titik tertingginya atau di angka Rp. 503, maka saya harusnya telah melakukan top up seluruh dana cadangan saya. 

Baiklah, sampai jumpa di akhir tahun 2023 nanti. Semoga portfolio saya bisa mengalahkan inflasi tahun ini. 




Comments

Popular posts from this blog

The Land of Atoni

You're stronger than you thought

Happy Father's Day in Heaven Pa!

Bagaimana Cara Mengatur Portfolio Investasi kita?

Living in a Kos in Jakarta